Laman

salju

Jumat, 04 Januari 2013

Kajian Kebudayaan Zaman Modern


Nama : bayu julianto lamani
Kelas  : 1ID01
NPM   : 314123290

Kajian Kebudayaan Zaman modern

Zaman modern biasanya merujuk pada tahun-tahun setelah 1500. Tahun tersebut ditandai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Timur, penemuan Amerika oleh Christopher Columbus, dimulainya Zeitgeist dan reformasi gereja oleh Martin Luther. Zaman modern ditandai dengan afirmasi diri manusia sebagai subjek. Apalagi setelah pernyataan Rene Descartes, “cogito ergo sum” yang artinya ‘aku berpikir maka aku ada’.

Tahukah kamuuu???

Romo Tom Jacob mengartikan ‘modern’ sebagai:

(1) terbaru, mutakhir;
(2) sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.

Sedangkan menurut Kant menyebutnya sebagai, ’pencapaian transendentalisasi jauh dari imanensi manusia. Sehingga manusia bisa mencapai tingkat yang paling tinggi. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern.

Di samping Kant, sejarah kematangan kebudayaan modern ditunjukkan oleh Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). 

Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.

            Dalam perspektif seorang postmodernis yang berasal dari traadisi filsafat, modernisme bisa disebut sebagai ‘semangat yang diandaikan ada pada masyarakat intelektual sejak zaman renaissance (abad ke-18) hingga paruh pertama abad ke-20. Semangat yang dimaksud adalah semangat untuk progress --meraih kemajuan—dan untuk humanisasi manusia’. Semangat ini dilandasi oleh keyakinan yang sangat optimistik dari kamum modernis akan kekuatan rasio manusia. 

          Di era ini rasio dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki oleh manusia untuk memahami realitas, untuk membangun ilmu pengetahuan dan teknologi, moralitas, dan estetika. Pendek kata, rasio dipandang sebagai kekuatan tunggal yang menentukan segala-galanya.

            Pengakuan atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti pengakuan atas harkat dan martabat manusia. Manusia dengan rasionya, --tentu saja sebagai subjek; pemberi bentuk dan warna pada realitas adalah penentu arah perkembangan sejarah. Kenyataannya, modernisme adalah salah satu bentuk dari humanisme. Narasi-narasi besar modernisme yang berasal dari kapitalisme, eksistensialisme, liberalisme, idealisme, tidak bisa lain membuktikan hal itu. 

         Modernisme juga bisa diartikan sebagai semangat untuk mencari dan menemukan kebenaran asasi, kebenaran esensial, dan kebenaran universial. Rasio manusia dianggapa mampu menyelami kenyataan faktual untuk menemukan hukum-hukum atau dasar-dasar yang esensial dan universal dari kenyataan.

Masa modern ditandai dengan perkembangan pesat di bidang ilmu pengetahuan, politik, dan tekologi. Dari akhir abad ke-19  dan awal abad ke-20, seni modern, politik,iptek dan budaya tak hanya mendominasi Eropa Barat dan Amerika Utara, namun juga hampir setiap jengkal daerah di dunia.

Termasuk berbagai macam pemikiran yang pro maupun yang kontra terhadap dunia barat. Peperangan brutal dan masalah lain dari masa ini, banyak diakibatkan dari pertumbuhan yang cepat, dan hubungan antara hilangnya kekuatan norma agama dan etika tradisional. Hal ini menimbulkan banyak reaksi terhadap perkembangan modern. Optimisme dan kepercayaan dalam proses yang berjalan di tempat telah dikritik oleh pascamodernisme  sementara dominasi Eropa Barat dan Amerika Utara atas benua lain telah dikritik oleh teori pascakolonial.

Contoh-contoh menurut unsur-unsur kebudayaan :

1.) Bahasa, terdiri dari bahasa lisan, bahasa tertulis, dan naskah kuno.

2.)Sistem Pengetahuan, meliputi teknologi dan kepandaian dalam hal tertentu, misalnya pada masyarakat petani ada pengetahuan masa tanam, alat pertanian yang sesuai lahan, pengetahuan yang menentukan proses pengolahan lahan.

3.) Organisasi Sosial, yaitu cara-cara perilaku manusia yang terorganisir secara sosial meliputi sistem kekerabatan, sistem komunitas, sistem pelapisan sosial, dan sistem politik.

4.) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, yaitu alat-alat produksi, senjata, peralatan distribusi dan transportasi, peralatan komunikasi, peralatan konsumsi, pakaian dan perlengkapannya, makanan dan minuman, peralatan perlindungan atau istirahat

5.) Sistem Mata Pencaharian Hidup, yaitu dari nomaden menganut foodgathering, semi producing, food producing hingga industri. Misalnya perburuan, perladangan, perkebunan, pertanian, peternakan, perdagangan dan industri

6.) Sistem Religi, yaitu adanya keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, ruh-ruh halus, dan tempat terakhir manusia hidup, yakni surga dan neraka.

7.) Kesenian, yaitu gagasan, dongeng, dan penciptaan lain berupa seni-seni mengukir.

Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.

            Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya zaman kebudayaan umat manusiapun mengalami perubahan. Menurut para pemikir post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam dunia kognisi, atau dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat kebudayaan sebagai tonggak pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan.

           Hal ini berarti semua kebudayaan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan yang ada hanyalah pusat-pusat kebudayaan tanpa periferi. Sebuah kebudayaan yang sebelumnya dianggap pinggiran akan bisa sama kuat pengaruhnya terhadap kebudayaan yang sebelumnya dianggap pusat dalam kehidupan manusia modern.

Kebudayaan Modern
Proses akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.

Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan Nasional yang telah ada? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Menurut para ahli kebudayaan modern dibedakan menjadi tiga macam yaitu:

Kebudayaan Teknologi Modern

Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang.

Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan. Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. 

Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.

Kebudayaan Modern Tiruan

Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja.

Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. 

Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita.Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. 

Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.

Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh. 

Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.

Kebudayaan-Kebudayaan Barat

Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. 

Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.

Filsafat Modern sebagai Pemberontakan Intelektual. Di satu sisi, modernitas dianggap sebagai disintegrasi intelektual. Filsafat positifisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, segala yang diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur untuk dapat memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan). Beberapa tokoh diantaranya:

August Comte (1798-1857), Jonh S. Mill (1806-1873), Herbert Spencer (1820-1903) .
Filsafat modern lebih menampilkan dirinya sebagai anarkhi dan kekacauan dari pada keutuhan dan ketertiban, sebuah kemerosotan intelektual. Di lain sisi, filsafat modern dianggap sebagai emansipasi, sebuah kemajuan berpikir, dari kemandegan dan pendewaan pemikiran metafisis yang mendukung sistem kekuasaan gerejawi tradisional. Pihak kedua mendukung radikalisasi lebih lanjut, pemisahan ilmu pengetahuan dari filsafat. Hancurnya metafisika tradisional disambut gembira Nietzsche, Kant, Comte, di lain pihak, Hegel dan Marx ingin mengembalikan integrasi metafisis itu dari puing-puingnya.

Usaha melepas diri dari tradisi, filsafat modern meluncurkan tema-tema baru, pengetahuan yang sekarang dikenal sebagai "ilmu pengetahuan modern", yakni ilmu-ilmu alam, seperti Galileo, Bacon dan Descartes sangat menekankan "metode" untuk mengetahui. Kalau filsafat tradisional ramai mempersoalkan kenyataan adikodrati (Allah, roh, dst), para filsuf modern sibuk mempersoalkan cara untuk menemukan dasar pengetahuan yang sahih tentang semua itu. Lambat laun minat refleksi akan Allah bergeser ke refleksi atas manusia dengan segala kemampuan kodratinya. Jadi, teosentrisme bergeser ke antroposentrisme. Kemampuan manusia sebagai subjektivitas, seperti: rasio, persepsi, afeksi, dan kehendaknya menjadi tema-tema refleksi baru.

Di awal zaman modern, rumusan "Cogito ergo sum" dari Descartes bersesuaian dengan interpretasi subjektif atas iman dari Luther. Jika pengetahuan dicapai oleh dirinya sendiri dan iman ditafsirkan sendiri, yang dilawan di sini bukan hanya ajaran-ajaran resmi tentang pengetahuan yang benar, melainkan juga praktik-praktik totaliter gereja Abad Pertengahan yang dilegitimasikan ajaran-ajaran itu. Di abad ke-18, John Locke dan Adam Smith merumuskan hak-hak milik yang menandai praktik-praktik ekonomi kapitalis zaman itu. Praktik-praktik yang lama mendapat serangan gencar dari Marx yang memperlihatkan hak milik sehagai biang keladi penindasan dalam masyarakat.

Sekian dan terimakasih..
Cemunguuuuut!!! (???)